Sabtu, 10 Maret 2012

Amar Ma’ruf Nahi Munkar Menurut Hukum Islam


Kaidah Beramar Makruf Nahi Munkar
            Melihat rukun-rukun amar makruf nahi munkar diatas maka dapat kita jabarkan kaidah dan garis besar penerapan amar ma’ruf nahi munkar sebagai berikut::
Pertama: Kaedah Yang Berhubungan Dengan Pelaku Amar Makruf Nahi Munkar
Pelaku amar ma’ruf nahi munkar hendaknya menghiasi dirinya dengan sifat terpuji dan akhlak mulia. Di antara sifat pelaku amar ma’ruf nahi munkar yang terpenting adalah:
  1. Ikhlash
Hendaklah seorang pelaku amar ma’ruf nahi munkar manjadikan tujuannya keridhaan Allah semata, tidak mengharapkan balasan dan syukur dari orang lain. Demikianlah yang dilakukan para Nabi, Allah berfirman:
وَمَآأَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلاَّ عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ
Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu, upahku tidak lain hanyalah dari Rabb semesta alam. (QS.Asy-Syu’araa` 26:145)
وَمآأَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلاَّ عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينََ
Dan sekali-kali aku tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Rabb semesta alam. (QS.  Asy-Syu’araa`26:127)
وَمَآأَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلاَّ عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ
Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Rabb semesta alam. (QS. Asy-Syu’araa` 26:109)
  1. Berilmu.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
“…akan tetapi niat terpuji yang diterima Allah dan menghasilkan pahala adalah yang semata-mata untuk Allah . Sedangkan amal terpuji lagi sholeh adalah itu yang diperintahkan Allah… Jika hal itu menjadi batasan seluruh amal sholih, maka wajib bagi pelaku amar ma’ruf nahi munkar memiliki keriteria tersebut dalam dirinya, dan tidak dikatakan amal sholih apabila dilakukan tanpa ilmu dan fiqih, sebagaiman pernyataan Umar bin Abdil Aziz: “Orang yang menyembah Allah tanpa ilmu, maka kerusakan yang ditimbulkannya labih besar dari kemaslahatan yang dihasilkannya” …ini sangat jelas, karena niat dan amal tanpa ilmu merupakan kebodohan, kesesatan dan mengikuti hawa nafsu….maka dari itu ia harus mengetahui kema’rufan dan kemunkaran dan dapat membedakan keduanya serta harus memiliki ilmu tentang keadaan yang diperintah dan dilarang.” (Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa 27/135-137, dengan sedikit pemotongan).            
Kemudian beliau berkata dalam mendefinisikan ilmu tersebut:
“Dan Ilmu tersebut adalah syariat Allah yang dibawa oleh Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam, dinamakan juga sulthon, sebagaimana firmanNya:
الَّذِينَ يُجَادِلُونَ فِي ءَايَاتِ اللهِ بِغَيْرِ سُلْطَانٍ أَتَاهُمْ كَبُرَ مَقْتًا عِندَ اللهِ وَعِندَ الَّذِينَ ءَامَنُوا كَذَلِكَ يَطْبَعُ اللهُ عَلَى كُلِّ قَلْبِ مُتَكَبِّرٍ جَبَّارٍ
(Yaitu) orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka.Amat besar kemurkaan (bagi mereka) di sisi Allah dan di sisi orang-orang yang beriman.Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang. (Surat mu’min 40:35)
Barang siapa yang berbicara agama tanpa ilmu yang dibawa Rasulullohshallallahu ‘alaihi wa sallam,maka dia berbicara tanpa ilmu. Dan siapa yang dipimpin syiethon maka dia menyesatkannya dan menyeretnya ke adzab neraka.” (Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa 27/39).
Ketidak tahuan pelaku amar ma’ruf nahi munkar tentang apa yang dia seru dan ingkari dapat menjerumuskannya kepada bencana dan fitnah yang banyak, terkadang muncul dengan sebabnya kerusakan yang beraneka ragam serta hilangnya kemaslahatan yang dia inginkan.
  1. Rifq
Rifq (lemah lembut dalam perkataan dan perbuatan serta selalu mangambil yang mudah). (  Lihat definisi Rifq di Fathul Bari 10/449).

Rifq adalah sifat para nabi dan rasul ketika mengingkari kelakuan buruk kaumnya, lihatlah firmanNya dalam kisah Musa:
اذْهَبَآ إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى فَقُولاَ لَهُ قَوْلاً لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah malampaui batas maka berbicalah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut mudah-mudahan ia ingat atau takut”. (QS. Thoha 20:43-44)
Demikian juga Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal yang sama dalam berdakwah kepada semua manusia, seperti yang diriwayatkan Aisyah , beliau berkata:
دَخَلَ رَهْطٌ مِنَ الْيَهُودِ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا السَّامُ عَلَيْكُمْ فَقَالَتْ وَعَلَيْكُمُ السَّامُ وَاللَّعْنَةُ قَالَتْ فَقَالَ مَهْلًا يَا عَائِشَةُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الْأَمْرِ كُلِّهِ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَوَلَمْ تَسْمَعْ مَا قَالُوا قَالَ قَدْ قُلْتُ وَعَلَيْكُمْ
Sekelompok orang yahudi menemui Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Assaamu ‘alaikum”. Lalu Aisyah memjawab: “Wa’alaikum assaam”. Lalu Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “sabar wahai Aisyah, sesungguhnya Allah mencintai rifq dalam seluruh perkara”. Lalu beliau berkata: “wahai Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam, apakah engkau tidak mendengar apa yang mereka ucapkan?”, beliau menjawab: “ya, dan saya sudah ucapkan: “‘alaikum”.” (Riwayat Bukhori, No.6024)
Bahkan beliau bersabda:
إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلاَّزَانَهُ وَلَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ
Sesungguhnya rifq, tidak ada pada sesuatu kecuali menghiasinya dan tidak hilang dari sesuatu kecuali merusaknya. (Riwayat Muslim No. 2594).
Demikian pentingnya sifat rifq ini, sehingga berkata Sufyaan Ats Tsauriy :
Tidak beramar ma’ruf nahi munkar kecuali orang yang memiliki tiga sifat: rifq, adil dan berilmu dalam mengajak dan mencegah“  (Ibnu Rajab, Jami’ Ulum Wal Hikam, 2/156, lihat Hakikat Al amr Bil ma’ruf Wan nahi Anil munkar hal. 93).

Imam Ahmad bin Hambal ditanya tentang amar ma’ruf nahi munkar, beliau menjawab:
Para sahabat Abdillah bin Mas’ud jika melewati satu kaum, yang mereka lihat melakukan sesuatu yang tidak mereka sukai, berkata: “sabar, sabar, semoga Allah merahmati kalian“.” (Ibnu Rajab, Jami’ Ulum Wal Hikam, 2/156, lihat Hakikat Al amr Bil ma’ruf Wan nahi Anil munkar hal. 93).

Dengan rifq (kelembutan) tabiat menerima dan mengerti bahaya kemunkaran, sehingga pelaku kemunkaran tersebut dapat kembali dan menerima ajakan tersebut-dengan izin Allah l -.
  1. Sabar
Kesabaran merupakan perkara yang sangat penting dalam seluruh perkara manusia, apalagi dalam amar ma’ruf nahi munkar, karena pelaku amar ma’ruf nahi munkar bergerak di medan perbaikan jiwanya dan jiwa orang lain. Sehingga Luqman mewasiati anaknya untuk bersabar dalam amar ma’ruf nahi munkar :
يَابُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاَةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَآأَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ اْلأُمُورِ
Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (QS. Luqmaan 31:17)
Demikian juga Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebaik-baik pelaku amar ma’ruf nahi munkar selalu bersabar atas segala musibah dan rintangan dari orang yang didakwahinya. Lihatlah kisah Anas bin Malik tentang hal ini dalam pernyataan beliau:
كُنْتُ أَمْشِي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهِ بُرْدٌ نَجْرَانِيٌّ غَلِيظُ الْحَاشِيَةِ فَأَدْرَكَهُ أَعْرَابِيٌّ فَجَذَبَهُ جَذْبَةً شَدِيدَةً حَتَّى نَظَرْتُ إِلَى صَفْحَةِ عَاتِقِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أَثَّرَتْ بِهِ حَاشِيَةُ الرِّدَاءِ مِنْ شِدَّةِ جَذْبَتِهِ ثُمَّ قَالَ مُرْ لِي مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي عِنْدَكَ فَالْتَفَتَ إِلَيْهِ فَضَحِكَ ثُمَّ أَمَرَ لَهُ بِعَطَاء
Aku berjalan bersama Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengenakan pakaian (burd) Najron yang kasar pinggirannya, lalu seorang A’robi (Arab Badui) memegangnya dan menariknya dengan keras sampai aku melihat leher Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah ada bekas selendangnya, karena kerasnya tarikan. Kemudian dia berkata: “berikan kepadaku sebagian harta Allah yang kamu miliki!”. Lalu beliau menengoknya dan tertawa, setelah itu beliau memerintahkan untuk memberikannya. (riwayat Bukhori no.3149).
Demikian pentingnya sabar bagi seorang muslim, sehingga Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan umatnya untuk bersabar, sebagaiman yang diriwayatkan oleh Sa’ad bin Abi Waqaash, beliau bertanya:
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلَاءً قَالَ الْأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ حَتَّى يُبْتَلَى الْعَبْدُ عَلَى قَدْرِ دِينِهِ ذَاكَ فَإِنْ كَانَ صُلْبَ الدِّينِ ابْتُلِيَ عَلَى قَدْرِ ذَاكَ وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ قَالَ فَمَا تَبْرَحُ الْبَلاَيَا عَنِ الْعَبْدِ حَتَّى يَمْشِيَ فِي الْأَرْضِ وَمَا عَلَيْهِ مِنْ خَطِيئَةٍ
Wahai Rasululloh siapakah orang yang paling keras cobaannya? Beliau menjawab: “para Nabi kemudian yang mendekatinya,kemudian yang mendekatinya, sampai seorang hamba dicoba sesuai dengan agamanya tersebut. Jika agamanya kuat maka dicoba sesuai dengan agamanya, dan jika terdapat kelemahan dalam agamanya, maka dicoba sesuai dengan agamanya”, beliau bersabda lagi:”senantiasa cobaan menimpa seorang hamba sampai ia berjalan di muka bumi tanpa dosa” )Riwayat al-Bukhori).
Arti penting ketiga sifat ini diutarakan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam pernyataannya:
Ia harus memiliki tiga sifat, yaitu Ilmu, Rifq dan Sabar. Ilmu sebelum melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar; harus lembut dalam melaksanakannya dan harus sabar (atas konsekwensi (pent)) setelahnya. Ketiga sifat ini harus selalu bersama dalam setiap keadaan.” (Ibnu Taimiyah, Al Amr bil Ma’ruf wan Nahyi ‘Anil Munkar, hal 57).

  1. Melihat dan mengukur kemaslahatan dan kemudhorotan.
Di antara hal yang perlu sekali diperhatikan seorang pelaku amar ma’ruf nahi munkar adalah mengukur dan melihat kemaslahatan yang ditimbulkan. Karena Syari’at ditegakkan untuk mendapatkan kemaslahatan dan menghilangkan kemafsadatan.
Syeikhul Islam menjelaskan kaidah ini dalam pernyataannya:
Amar ma’ruf tidak boleh menghilangkan kema’rufan lebih banyak, atau mendatangkan lebih besar kemunkaran. Nahi munkar tidak boleh mendatangkan kemunkaran yang lebih besar atau menghilangkan kema’rufan yang lebih kuat (rajih) darinya” (Ibnu Taimiyah, Al Hisbah, hal124).

Ibnul Qayyim berkata dalam menjelaskan hal ini:
“Allah Ta’ala telah mensyariatkan kewajiban mengingkari kemunkaran, untuk mendapatkan kema’rufan yang dicintai Allah dan RasulNya. Jika ingkar munkar menghasilkan kemunkaran yang lebih besar dan lebih dibenci Allah dan rasulNya, maka tidak boleh.
Ingkar munkar memiliki empat derajat:
  1. kemunkarannya hilang dan digantikan dengan kema’rufan.
  2. kemunkaran berkurang walaupun tidak hilang seluruhnya.
  3. kemunkaran hilang diganti dengan kemunkaran yang semisalnya.
  4. kemunkaran tersebut diganti dengan yang lebih berat.
Dua derajat yang pertama disyariatkan (untuk dilaksanakan), derajat ketiga kembali ke ijtihat pelakunya, sedang yang keempat diharomkan (pelaksanaannya).
Jika kamu melihat orang jahat dan fasiq bermain catur-misalnya-, maka pengingkaranmu dikatakan tidak didasarkan fiqih dan ilmu, kecuali jika kamu memalingkan mereka kepada sesuatu yang lebih Allah dan RasulNya cintai; seperti bermain panah dan balap kuda serta yang sejenisnya. Jika kamu melihat orang fasiq berkumpul pada satu amalan yang sia-sia atau mendengarkan tepuk tangan dan siulan, maka jika kamu membawa mereka kepada ketaatan Allah, maka itu yang dicari; kalau tidak, membiarkan mereka demikian lebih baik dari memberikan kesempatan kepada mereka berbuat lebih buruk dari itu, karena amalan mereka tersebut menyibukkan mereka untuk tidak beramal yang lebih jelek. Demikian juga jika ada seorang yang sibuk membaca buku berisi kefasikan atau yang sejenisnya, lalu kamu khawatir pindahnya mereka kebuku bid’ah, sesat dan sihir, maka lebih baik biarkan dia dengan buku tersebut. Ini merupakan pembahasan yang luas sekali.
Aku mendengar Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah- semoga Allah mensucikan ruhnya- mengatakan: “Saya dan sebagian sahabatku di zaman Tartar melewati satu kaum yang meminum khomr. Salah seorang yang bersamaku mengingkari mereka, lalu saya cegah. Saya katakan padanya: “Allah mengharamkan khomr karena dia menghalangi zikir dan sholat, sedangkan khomr menghalangi mereka dari membunuh, menawan anak-anak serta merampok, maka biarkanlah mereka..” (Ibnul Qayyim, I’lamul Muwaqi’in, 3/4-5, lihat Hamd Al Amaar, Hakikat Al amr Bil ma’ruf Wan Nahyi ‘Anil munkar hal. 95 dan Ali Hasan, Dhawaabith Al Amr bil Ma’ruf Wan nahi Anil munkar Inda Syeikhil Islam Ibnu Taimiyah, hal. 31-32).

Permasalahan maslahat dan mafsadat sangat penting dalam syari’at Islam, khususnya amar ma’ruf nahi munkar, sehingga Syeikhul Islam menyatakan:
Apabila amar ma’ruf nahi munkar tersebut mencakup hal yang mendatangkan kemaslahatan dan menolak kemudhorotan, maka harus dilihat penentangnya. Jika yang hilang dari kemaslahatan atau mafsadat yang datang lebih besar, mak dia tidak diperintahkan. Bahkan menjadi haram, bilamana mafsadatnya lebih besar dari kemaslahatannya. Akan tetapi standar ukuran maslahat dan mafsadatnya adalah syari’at.” (Ibnu Taimiyah, Al Amr Bil Makruf Wan Nahi Anil Munkar, hal 47).

Kemudian beliau mencela orang yang beramar ma’ruf nahi munkar tanpa memperhatikan hal ini, dalam pernyataan beliau:
Orang yang ingin amar ma’ruf nahi munkar baik dengan lisannya, atau dengan tangannya begitu saja tanpa fiqih, hilm, kesabaran, tidak memandang apa yang maslahat dan yang tidak maslahat dan tidak mengukur mana yang mampu dan yang tidak dimampui…… Lalu melakukan amar ma’ruf nahi munkar dengan keyakinan mentaati Allah dan RasulNya, namun hakikatnya dia telah melanggar batasan-batasan Allah Ta’ala (bermaksiat (pent)).” (Ibnu Taimiyah, Al Amr Bil Makruf Wan Nahi Anil Munkar, hal 43-45).

Kaidah ini dapat diperinci sebagai berikut: (Diambil dari kitab Hakikat Al Amr Bil Makruf Wan Nahi Anil Munkar, hal 96-100, Ibnu Taimiyah, Al Amr Bil Makruf Wan Nahi Anil Munkar, hal 47-48 dan Dhawaabith Al amr Bil ma’ruf Wan nahi Anil munkar Inda Syeikhil Islam Ibnu Taimiyah, hal. 36-40 serta majmu’ fatawa jilid 20).

  • Jika kemaslahatan lebih besar dari mafsadatnya, maka disyari’atkan beramar ma’ruf nahi munkar. Syeikhil Islam menyatakan:
“Jika amar ma’ruf nahi munkar merupakan kewajiban yang agung atau sunnah, maka mesti kemaslahatan yang ada padanya lebih besar dari mafsadatnya, karena demikianlah para rasul diutus dan kitab-kitab suci diturunkan. Sedangkan Allah Ta’ala tidak menyukai kerusakan, bahkan seluruh perintahNya adalah kebaikan. Dia memuji kebaikan dan pelakunya serta orang yang beriman dan beramal sholih. Diapun mencela kerusakan dan orang yang melakukan kerusakan dalam banyak ayat di Al Qur’an.” (Ibnu Taimiyah, Al Amr Bil Makruf Wan Nahi Anil Munkar, hal 39).

  • Jika mafsadat lebih besar dari kemaslahatannya, maka diharamkan beramar ma’ruf nahi munkar, karena menolak mafsadat lebih didahulukan dari mendapat kemaslahatan.
Syeikhul Islam berkata:
“Apabila amar ma’ruf nahi munkar tersebut mencakup hal yang mendatangkan kemaslahatan dan menolak kemudhorotan, maka harus dilihat penentangnya. Jika yang hilang dari kemaslahatan atau mafsadat yang datang lebih besar, mak dia tidak diperintahkan. Bahkan menjadi haram, bilamana mafsadatnya lebih besar dari kemaslahatannya. Akan tetapi standar ukuran maslahat dan mafsadatnya adalah syari’at. Kapan saja seseorang sanggup melaksanakan apa yang diperintahkan syari’at, maka jangan berpaling darinya. Jika tidak, maka hendaklah ia berijtihad untuk mengetahui yang serupa dan sama, dan sedikit sekali orang yang pakar terhadap nash-nash dan penunjukannya terhadap hukum tidak menemukannya.”( Ibnu Taimiyah, Al Amr Bil Makruf Wan Nahi Anil Munkar, hal 47).

Dan berkata juga:
“Jika ajakan melakukan ketaatan mendatangkan kemaksiatan yang lebih besar, maka ditinggalkan ajakan tersebut untuk menolak adanya kemaksiatan itu. Seorang alim dalam bayan dan balagh , terkadang mengakhirkan bayan dan balaghnya karena sesuatu sampai pada waktu yang pas, sebagaimana Allah Ta’ala mengakhirkan turunnya Ayat dan penjelasan hukum sampai waktu Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam mampu menjelaskannya” ( Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa 20/58-59).

  • Jika mafsadat dan maslahat sama besarnya, tidak disyariatkan amar ma’ruf nahi munkar, karena tujuan dari pensyari’atan hukum-hukum adalah untuk menolak mafsadat dan mendapatkan maslahat bagi manusia.
Syeikhul Islam berkata:
“Jika perkara ma’ruf dan munkar sama dominant dan tak terpisah, maka amar ma’ruf nahi munkar tidak diperintahkan dan tidak dilarang. Terkadang amar ma’ruflah yang harus dilakukan dan terkadang  nahi munkarlah yang harus dilakukan atau terkadang kedua-duanya tidak dilaksanakan, karena kema’rufan dan kemunkaran tidak terpisahkan.” (Ibnu Taimiyah, Al Amr Bil Makruf wan Nahyi ‘anil Munkar, hal 48).

  • Jika mafsadat berbilang ketika pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar, hal ini tidak lepas dari dua hal:
1. Mesti terjerumus pada salah satunya, seperti buah simalakama, maka dilaksanakan yang paling sedikit kemudhoratannya, untuk menolak yang lebih besar.
Syeikhul Islam berkata seputar permasalahan ini:
“Demikian pula jika berkumpul dua keharaman, tidak mungkin meninggalkan yang terbesar kecuali melakukan yang lebih kecil (mafsadahnya). Melakukan hal itu pada saat ini tidak dikatakan haram secara hakikat, Jika dinamakan hal itu meninggalkan kewajiban atau melakukan keharaman secara penamaan, maka tidak mengapa. Dan dikatakan demikian juga, seseorang yang meninggalkan kewajiban dan mengamalkan keharaman karena maslahat yang lebih besar, atau darurat, atau mencegah yang lebih haram darinya” (Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fataawa 20/57).

2. Tidak mesti terjerumus pada salah satunya, maka hukumnya berusaha menghindari keduanya, sesuai dengan kaidah fiqhiyah: (Lihat pengertian kaidah ini di kitab Syarah Al Qawaaid Al Fiqhiyah karya Ahmad bin Muhammad Az Zarqaa’).

الضَّرَرُ يُزَالُ
Kemudhoratan dihilangkan.
Dan:
الضَّرَرُ لاَيُزَالُ بمِثْلِهِ
kemudhoratan tidak dihilangkan dengan semisalnya.
الضَّرَرُ يُدْفَعُ بِقَدْرِ الإِمْكَانِ
Kemudhoratan dicegah sedapat mungkin.
Demikianlah pentingnya mengenal standar maslahat dan mafsadat dalam amar ma’ruf nahi munkar. lihatlah contoh yang disampaikan Ibnu Taimiyah dalam perkataan beliau:
“Pengakuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi Abdillah bin Ubai bin Salul dan para pengikutnya, para tokoh kemunafikan dan kefujuran, disebabkan mereka memiliki simpatisan fanatik. Menghilangkan kemunkarannya dengan sejenis hukuman justru menghilangkan kemaslahatan yang lebih banyak, dengan sebab kemarahan dan asabiyah (pembelaan karena merasa satu kaum (pent)) kaumnya. Demikian juga antipati manusia ketika mereka mendengar Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam membunuh sahabatnya sendiri. Oleh karena itu ketika beliau berkhutbah di hadapan manusia tentang peristiwa ifki (tuduhan dusta kepada ‘Aisyah, pent)) dengan khutbahnya dan memaafkannya. Lalu Saad bin Mu’adz mengucapkan perkataan yang sangat menyentuh.  ( Kisah ini disampaikan dalam khutbah beliau berbunyi:
مَنْ يَعْذُرُنِي مِنْ رَجُلٍ بَلَغَنِي أَذَاهُ فِي أَهْلِي فَوَاللَّهِ مَا عَلِمْتُ عَلَى أَهْلِي إِلَّا خَيْرًا وَقَدْ ذَكَرُوا رَجُلًا مَا عَلِمْتُ عَلَيْهِ إِلَّا خَيْرًا وَمَا كَانَ يَدْخُلُ عَلَى أَهْلِي إِلَّا مَعِي فَقَامَ سَعْدُ بْنُ مُعَاذٍ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَا وَاللَّهِ أَعْذُرُكَ مِنْهُ إِنْ كَانَ مِنَ الْأَوْسِ ضَرَبْنَا عُنُقَهُ وَإِنْ كَانَ مِنْ إِخْوَانِنَا مِنَ الْخَزْرَجِ أَمَرْتَنَا فَفَعَلْنَا فِيهِ أَمْرَكَ فَقَامَ سَعْدُ بْنُ عُبَادَةَ وَهُوَ سَيِّدُ الْخَزْرَجِ وَكَانَ قَبْلَ ذَلِكَ رَجُلًا صَالِحًا وَلَكِنِ احْتَمَلَتْهُ الْحَمِيَّةُ فَقَالَ كَذَبْتَ لَعَمْرُ اللَّهِ لَا تَقْتُلُهُ وَلَا تَقْدِرُ عَلَى ذَلِكَ فَقَامَ أُسَيْدُ بْنُ حُضَيْرٍ فَقَالَ كَذَبْتَ لَعَمْرُ اللَّهِ وَاللَّهِ لَنَقْتُلَنَّهُ فَإِنَّكَ مُنَافِقٌ تُجَادِلُ عَنِ الْمُنَافِقِينَ فَثَارَ الْحَيَّانِ الْأَوْسُ وَالْخَزْرَجُ حَتَّى هَمُّوا وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَنَزَلَ فَخَفَّضَهُمْ حَتَّى سَكَتُوا وَسَكَتَ (

    Saad bin Ubadah dengan kesempurnaan iman dan sidiqnya masih terbakar emosi kesukuannya, setiap orang dari mereka bertaashub (saling membela karena kefanatikan (pent)) terhadap sukunya, sampai hampir terjadi fitnah” (Ibnu Taimiyah, Al Amr bil Makruf wan Nahi ‘anil Munkar, hal 48-49).

Demikian juga Imam Ibnul Qayyim menjelaskan kaidah ini dengan memberikan contoh dalam pernyataan beliau:
“Barang siapa yang meneliti fitnah yang besar atau kecil yang terjadi dalam Islam, akan melihat hal itu disebabkan karena melalaikan pokok kaedah ini dan tidak sabar dalam (mengingkari) kemunkaran. Menuntut hilangnya kemunkaran, akan tetapi lahir darinya kemunkaran yang lebih besar. Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu melihat di Makkah satu kemunkaran besar dan tidak dapat merubahnya, bahkan ketika Allah taklukan Makkah dan menjadi negeri Islam, beliau bertekad untuk merubah Ka’bah dan mengembalikannya sesuai dasar bangunan Nabi Ibrohim. Akan tetapi tercegah -walaupun beliau mampu- kekhawatiran munculnya sesuatu yang lebih besar dari itu, berupa tantangan Quraisy, karena mereka baru masuk Islam dan meninggalkan kekufuran. Oleh karena itu tidak diizinkan mengingkari para penguasa dengan tangan, karena akan menghasilkan kemunculan sesuatu yang lebih besar darinya.” (Ibnul Qayyim, I’lamul Muwaqi’iin, 4/3, lihat Dhawaabith Al Amr bil Ma’ruf wan Nahi ‘anil Munkar Inda Syeikhil Islam Ibnu Taimiyah, hal. 39-40).

  1. Hendaknya pelaku amar ma’ruf nahi munkar mengenal dan mengetahui kaidah Saddudz dzara’I (menahan sesuatu yang dapat mengantar kepada kemunkaran). Sebagaimana digunakan Allah Ta’ala dalam firmanNya:
وَلاَتَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللهِ فَيَسُبُّوا اللهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلٍّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِم مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jaidkan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Rabb mereka kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. (QS. 6:108)
Demikian juga Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan hal itu dalam hadits :
عَنْ صَفِيَّةَ بِنْتِ حُيَيٍّ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُعْتَكِفًا فَأَتَيْتُهُ أَزُورُهُ لَيْلًا فَحَدَّثْتُهُ ثُمَّ قُمْتُ فَانْقَلَبْتُ فَقَامَ مَعِي لِيَقْلِبَنِي فَمَرَّ رَجُلَانِ مِنَ الْأَنْصَارِ فَلَمَّا رَأَيَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَسْرَعَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى رِسْلِكُمَا إِنَّهَا صَفِيَّةُ بِنْتُ حُيَيٍّ فَقَالَا سُبْحَانَ اللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنَ الْإِنْسَانِ مَجْرَى الدَّمِ وَإِنِّي خَشِيتُ أَنْ يَقْذِفَ فِي قُلُوبِكُمَا سُوءًا أَوْ قَالَ شَيْئًا
Dari Shofiyah binti Huyaiy, beliau berkata:”Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang beri’tikaf, lalu aku datang menziarahinya pada satu malam. Saya berbicara kepada beliau, lalu bangkit untuk pulang. Kamudian beliau bangkit untuk mengantarkanku, lalu lewatlah dua orang anshor. Ketika beliau melihat keduanya mempercepat jalan, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Perlahanlah kalian, sesungguhnya dia adalah Shofiyah binti Huyaiy.” Lalu keduanya berkata: “Subhanallah, wahai Rasululloh.” Beliau berkata: ” sesungguhnya Syeithon masuk ke dalam manusia melalui aliran darah dan aku khawatir dia memasukkan kejelekan ke dalam hati kalian berdua.”. (Riwayat al-Bukhori dan Muslim).
Dalam hadits ini, Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam mencegah prasangka buruk kedua orang tersebut dengan pemberitahuannya.
  1. Melakukan amar ma’ruf nahi munkar secara syar’I dan adil, sehingga tidak berlebihan dalam membenci, mencela, melarang atau mengisolirnya. Hal ini diingatkan syeikhul Islam dalam menjelaskan sebagian ketentuan amar ma’ruf nahi munkar, beliau berkata:
“Tidak menyakiti ahli maksiat melebihi ketentuan syari’at, baik dalam membenci, mencela, mencegah, mengisolir atau menghukumnya. Bahkan disampaikan kepada orang yang disakiti: “perhatikanlah dirimu saja, orang yang sesat tidak merugikanmu, jika kamu mendapat petunjuk; sebagaimana firman Allah Ta’ala :
وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَئَانُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيرُُ بِمَا تَعْمَلُونَ
Dan janganlah sekali-kali kebencianmuterhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Surat Al Maidah.:8)
dan firmanNya:
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُوا إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (QS. Al Baqoroh:190)
Dan firmanNya:
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِينَ(193)
Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah belaka. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zhalim. (QS. 2:193)
Karena kebanyakan pelaku amar ma’ruf nahi munkar terkadang melampaui batasan, adakalanya karena kebodohan dan kadang karena kedzoliman. Permasalahan ini harus dilakukan dengan ketelitian, baik dalam mengingkari kemunkaran terhadap orang kafir, munafik, fasik atau orang yang bermaksiat.” (Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, 14/481-482).

Kemudian dia berkata lagi:
Hendaklah melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar mengikuti tuntunan syari’at, dari ilmu, rifq, kesabaran, niat yang ikhlas dan mengikuti jalan yang lurus”.
  1. Hendaklah menjadi teladan bagi orang lain, karena pengaruh mencontoh dan meniru cukup besar dalam diri orang yang didakwahi. Oleh karena itu Allah Ta’ala jadikan Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam contoh teladan terbaik agar manusia mencontoh seluruh perbuatan dan perkataannya. Allah berfirman:
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا اللهَ وَالْيَوْمَ اْلأَخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. 33:21)
Sehingga seorang pelaku amar ma’ruf nahi munkar hendaklah merasa bahwa Islam memerintahkannya mengikuti teladan yang baik, teladan para Rasul, orang sholeh dan mulia. Hendaklah dia menjadi salah satu dari mereka tersebut, agar menjadi contoh teladan dalam perkataan dan perbuatan yang baik. Imam Al Hasan Al Bashriy berkata: “Penasehat adalah orang yang menasehati manusia dengan amalannya, bukan ucapannya. Demikianlah keadaan Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika ingin memerintahkan sesuatu, beliau mulai dari dirinya dan berbuat. Jika ingin melarang sesuatu, beliau berhenti darinya“  (Dinukil dari Fiqhud Dakwah fii Inkaril Munkar, hal. 50).

Jangan sampai menjadi contoh jelek dalam masyarakat, sehingga termasuk orang yang dicela oleh Allah dalam firmanNya:
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ(44)
Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab (Taurat) Maka tidakkah kamu berpikir (QS. Al-Baqarah 2:44)
dan Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
يُجَاءُ بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُهُ فِي النَّارِ فَيَدُورُ كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ بِرَحَاهُ فَيَجْتَمِعُ أَهْلُ النَّارِ عَلَيْهِ فَيَقُولُونَ أَيْ فُلاَنُ مَا شَأْنُكَ أَلَيْسَ كُنْتَ تَأْمُرُنَا بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَانَا عَنِ الْمُنْكَرِ قَالَ كُنْتُ آمُرُكُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَلاَ آتِيهِ وَأَنْهَاكُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَآتِيهِ
Didatangkan pada hari kiamat seorang, lalu dilemparkan ke neraka, sehingga usus-ususnya keluar di neraka, lalu dia berputar seperti berputarnya keledai di batu gilingannya. Ahli neraka berkumpul mengelilinginya, mereka berkata: “Wahai fulan, kenapa kamu ini? Bukankah dulu  engkau beramar ma’ruf nahi munkar?” dia menjawab: “Saya dulu beramar ma’ruf dan saya tidak melaksanakannya dan mencegah kemunkaran dan saya melakukannya”. (Riwayat al-Bukhori No. 3267dan Muslim No.2989).
Mereka inilah yang dikatakan Ibnul Qayyim: ulama su’ (ulama jahat), dalam pernyataan beliau :
“Ulama su’ adalah orang yang duduk di pintu syurga, menyeru manusia ke syurga dengan ucapannya dan menyeru ke neraka dengan perbuatannya. Setiap kali ucapannya mengajak manusia: ‘kemarilah’. Maka berkata perbuatannya: ‘Janganlah kalian mendengarkannya; seandainya apa yang mereka seru adalah kebenaran, tentunya dia orang pertama yang menerimanya.’ Mereka secara lahiriyah adalah penunjuk kebenaran dan secara hakikat adalah perampok”. (Ibnul Qayyim, Al Fawaaid, hal 94.`)
Dengan demikian pelaku amar ma’ruf nahi munkar harus menjadi teladan baik dalam masyarakatnya. Tentunya hal ini tidak lepas dari taufiq Allah Subhanahu wa Ta’ala, kemudian tarbiyah yang shohih.

1 komentar: